Ketika
dakwah Islam masuk ke tanah Jawa, Maulana Malik Ibrohim ,Sunan Ampel,
Bonang, Gunung Jati dan terutama Sunan Giri
berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni (aqidah
maupun ibadah) dan menghindarkan diri dari bentuk
singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
Tetapi
sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan
Sunan Kalijaga mengkolaborasikan sisa ajaran Hindu dan Budha
(sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara
tujuh bulanan)di dalam menyampaikan ajaran Islam, yang sampai sekarang masih
dijumpai di masyarakat.
Dakwah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam 14 abad lalu
dilakukan terlebih dahulu dengan membangun pondasi akidah selama 13 tahun
secara qat'i di tengah-tengah kaum paganis (penyembah berhala) di kota Mekkah.
Hal
ini agar masyarakat mengerti betul tentang ketauhidan, hanya menyembah satu
ilah yaitu Allah Ta'ala, dan ilah-ilah yang mereka sembah sebelumnya adalah
bentuk-bentuk dari kebatilan. Setelah itu barulah Beliau mengajarkan
syariat-syariat lain, seperti perintah sholat, puasa, zakat, haji serta
bagaimana cara bermuamalah.
Dengan
cara ini Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam memperoleh keberhasilan dalam
dakwahnya, sementara Islam mencapai kejayaan hingga menyebar ke seluruh penjuru
dunia.
Berbeda
dengan masuknya Islam di tanah air (Indonesia) yang sama-sama di tengah kaum
paganis (penganut Hindu, Budha dan kepercayaan animisme dinamisme).
“Dakwah yang dilakukan para ulama kita yang sering disebut walisongo tidak membersihkan pondasi Hindu yang menjadi mayoritas agama masyarakat saat itu. Mereka langsung mendirikan bangunan Islam, tembok, jendela, atap, catnya Islam tapi Hindunya tetap kelihatan.
Salah
satunya adalah selamatan pada hari ke 7, 40, 100, 1000 itu berasal dari kitab
Samaweda hal 373 ayat 1. Bunyinya …”pradiatmahi bibisari krigiagnawibseba ra
arang gayamaya jimi prabaseba dwininara” yang artinya antarkanlah persembahanmu
itu, antarkanlah selamatanmu itu kepada leluhurmu di saat hari pertama, ke 7,
40, 100 mendak pisan mendak pindo dan 1000 hari,” ujar Ida Bagus Erit Budai
Winarno, mantan pendeta Hindu yang kini memeluk Islam dengan nama Abdul Aziz.
Salah satu buku karangan H Makhrus Ali yang mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden Belanda, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan : “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Salah satu buku karangan H Makhrus Ali yang mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden Belanda, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan : “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo tulisan H Lawrens pada halaman 41, 64 juga mengupas perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan), dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan) mengenai budaya dan adat istiadat.
Sunan
Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat
lama seperti selamatan, sesaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa
keislaman. Namun Sunan Ampel menentang : “Apakah tidak
mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat
istiadat dan upacara lama itu nanti
dianggap sebagai ajaran yang berasal dari
agama Islam? Jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid'ah dan syirik?”. Sunan
kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan
bahwa di belakang hari akan ada yang
menyempurnakannya.
Akhirnya apa yang dikhawatirkan ulama putihan tersebut menjadi kenyataan. Kondisi umat Islam sangat memprihatinkan. Ajaran syar'i ternoda oleh gado-gado warisan wali abangan, di mana perkara yang sunnah dimatikan dan perkara bid'ah dan syirik tetap dihidupkan.
Allah Ta'ala telah memperingatkan sebagaimanadalam firman-Nya yang berbunyi :
“ orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al An'am 82).
“Selain bentuk-bentuk tasayabuh, ini adalah kesalahan besar yang sangat membahayakan akidah.
Di
samping itu ritual selamatan kematian banyak mengandung tipuan. Misalnya orang
yang tidak beribadah, tapi dengan digelarnya prosesi selamatan
setelah kematiannya akan diampuni dosa-dosanya. Karena itu
Imam Syafi'i menentang al-ma'tam, yaitu kumpul-kumpul di
tempat keluarga mayat lalu makan-makan.” Ungkap ustadz Umar Abu Ubaidillah
di sela-sela kajian …
By
;Majalah Furqon .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar